Pimpinan Cabang Gerakan Pemuda Ansor Trenggalek

Selamat Datang di Blog Pimpinan Cabang Gerakan Pemuda Ansor Kabupaten Trenggalek

Minggu, 31 Maret 2019

Ansor Trenggalek Gelar Rakorcab Maraton


Ansor Trenggalek Online - Pimpinan Cabang Gerakan Pemuda Ansor Trenggalek mengadakan Rapat Koordinasi Cabang (Rakorcab) secara maraton. Rakorcab tersebut dilakukan dari PAC ke PAC bareng dengan agenda Turba (turun bawah).

Rakor perdana dilaksanakan di PAC Panggul bersamaan dengan agenda Rijalul Ansor di Ranting Ngrambingan pada Sabtu (30/3) kemarin.


Menurut Ketua PC GP Ansor Trenggalek, Gus Zaki, Rakorcab tersebut  merupakan agenda rapat pertama yang dilakukan pasca Konferensi Cabang beberapa waktu yang lalu. Dalam rakorcab tersebut dibahas beberapa wacana penting mengenai program kerja cabang setelah nanti kepengurusan periode ini resmi dilantik. Sebagaimana diketahui bahwa Ansor Trenggalek pada Februari lalu menggelar Konferensi Cabang dan Gus Zaki terpilih sebagai ketua mandataris.

"Rakorcab ini penting dilakukakan karena di dalamnya akan dibahas rencana kerja  di kepengurusan yang baru ini. Tentu proker yang dimaksud adalah melengkapi program kerja yang sudah dilakukan pengurus yang lalu". Jelas Gus Zaki.


Lebih lanjut ia mengatakan bahwa selain pembahasan mengenai rencana program kerja, Ansor Trenggalek juga mensikapi dinamika politik yang terjadi di tahun ini. Ia juga menyampaikan bahwa langkah GP Ansor dalam mengawal Pemilu 2019 adalah dengan mendeklarasikan Gerakan Rabu Putih, sebagaimana diinstruksikan oleh Pimpinan Pusat beberapa waktu yang lalu.

"Rabu Putih, adalah sebuah gerakan masyarakat yang bertujuan memaksimalkan tingkat partisipasi pemilih untuk datang ke TPS dan menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 17 April 2019 secara bebas dan nyaman, tanpa rasa takut atau merasa terintimidasi oleh kelompok manapun. Selain itu, putih merupakan simbol kebaikan, maka Pemilu 2019 ini diharapkan mampu menjadikan Indonesia lebih baik". Tambahnya. (ltf)
Share:

Ansor Trenggalek Adakan Turba ke Ranting Ngrambingan


Sebagai upaya konsolidasi dan koordinasi Pimpinan Cabang dengan kepengurusan Ansor di tingkat bawah,  PC GP Ansor Trenggalek galakkan turun bawah (Turba) ke PAC dan Ranting. 

Seperti yang dilaksanakan pada Sabtu (30/3), Pengurus PC adakan silaturrahim ke PR GP Ansor Desa Ngrambingan Kecamatan Panggul yang digelar di sebuah Musholla desa setempat. Acara kian menarik karena selain upaya konsolidasi, kegiatan ini dibarengkan dengan kegiatan rutin Rijalul Ansor.

Ketua Pimpinan Ranting Ansor Ngrambingan, sahabat Khoirudin mengatakan bahwa turba cabang ini tentu akan menjadi cambuk bagi ranting Ngrambingan untuk terus menggalakkan kegiatan keansoran di tingkat ranting. 

"Terima kasih atas hadirnya sahabat dari PC yang telah mensupport keberadaan kami. InsyaAllah Ranting Ngrambingan tidak akan pernah mati". Jelas sahabat Khoir.


Ketua PAC GP Ansor Panggul Sahabat Machrus Alwi juga memberikan sambutan dalam Turba Cabang ini. Ia menyampaikan bahwa Ansor Panggul memiliki agenda rutin tiap bulan. Salah satunya adalah mengadakan ziarah kubur para tokoh agama dan sesepuh se wilayah kecamatan Panggul.

Sementara itu Ketua PC GP Ansor Trenggalek Gus Zaki hadir didampingi  oleh ketua Cabang MDS Rijalul Ansor, Gus Nasir serta pengurus lainnya. Dalam sambutannya  Gus Zaki menyampaikan bahwa konsolidasi dan koordinasi akan terus dilakukan sampai ke grass root. Selain memberikan materi penguatan aswaja, ia juga menghimbau kepada setiap anggota Ansor untuk menggunakan media sosial sebagai sarana menyuarakan Islam Ahlussunnah wal Jama'ah ala Nahdlatul Ulama sebagai langkah dakwah yang rahmatan lil 'alamin.


"Jadi kita harus massif menggunakan media sosial sebagai sarana dakwah yang santun dan ramah, guna meminimalisir gerakan kelompok yang sering menebar kebencian, hoax dan sebagainya itu". Jelasnya. (ltf)
Share:

Jumat, 22 Maret 2019

Ansor Trenggalek Menggelar MDS di Pendopo


 Ansor Trenggalek Online - Pimpinan Cabang (PC) Gerakan Pemuda (GP) Ansor Trenggalek Jawa Timur Kamis (21/3/2019) malam menggelar kegiatan Majelis Dzikir dan Sholawat (MDS) Rijalul Ansor di pendopo Manggala Praja Nugraha Kabupaten Trenggalek. Dalam majelis dzikir dan sholawat Rijalul Ansor ini, para pemuda Ansor bersama masyarakat membaca istighotsah yang dilanjutkan dengan sholawat.


Kegiatan rutinan MDS biasanya dilakukan dari rumah ke rumah. Namun, Ansor Trenggalek meluangkan waktu khusus untuk mengadakan kegiatan MDS di pendopo kabupaten, yakni sebulan sekali tiap malam Jum'at Legi. Ketua PC GP Ansor terpilih sahabat Izzudin Zaki (Gus Zaki) menyampaikan bahwa sebenarnya rutinan majelis dzikir dan sholawat di pendopo ini sudah dilakukan sejak 2016 yang lalu. "Ini bermula, tahun 2015 yang lalu kami sowan Kyai Mutawakkil yang saat itu sebagai ketua PWNU Jawa Timur. Beliau meminta kalau bisa Ansor mengadakan dzikir dan sholawat di pendopo". Jelas Gus Zaki.

Selain dzikir dan sholawat, kegiatan ini biasanya diakhiri dengan musyawarah ke-Ansor-an dan diskusi terbuka. (ltf)

 




Share:

Banser Panggul Salurkan Bantuan untuk Korban Longsor dan Du'afa




Panggul - Barisan Ansor Serbaguna (Banser) Satkorpok Depok Kecamatan Panggul bekerja sama dengan Polsek Panggul mengadakan giat sosial menyalurkan bantuan kepada masyarakat korban bencana tanah longsor yang terjadi beberapa waktu lalu pada Kamis (21/3/2019). Giat tersebut dipusatkan di desa Depok, daerah yang terkena bencana longsor paling parah. Penyaluran bantuan berupa paket sembako menyentuh 20 Kepala Keluarga (KK) yang terdiri dari 4 KK korban longsor dan 16 KK mustadz'afin.

Menurut koordinator kegiatan, sahabat Bahrul Huda (Satkorpok Banser Depok) kegiatan yang dilakukan berkat kerjasama berbagai pihak tersebut mendapat respon positif masyarakat setempat. "Tentu giat ini sangat memberikan sentuhan moral dan material untuk warga di sini yang notabene terpencil". Jelas Bahrul.

Selain menyalurkan bantuan berupa sembako dan uang, anggota Banser juga membantu mengkondisikan rumah darurat bagi korban longsor. Pasalnya rumah yang terkena imbas longsor kondisinya sangat memprihatinkan dan sementara ini tidak aman untuk dihuni. "Harapan untuk ke depannya Ansor dan Banser harus bisa menjadi mesin penggerak perjuangan NU di masa yang akan datang, salah satunya cepat tanggap apabila ada masyarakat yang memerlukan bantuan". Imbuhnya. Bravo untuk Banser Panggul!. (ltf)














 
Share:

Kamis, 21 Maret 2019

Ansor Trenggalek Menjalin Sinergitas dengan Kesbangpol



Ansor Trenggalek Online - Setelah beberapa waktu yang lalu 'sowan' ke berbagai institusi di lingkup pilar pemerintahan Kabupaten Trenggalek, hari ini Kamis (18/3/2019), Ansor Trenggalek kembali mengadakan kunjungan. Kali ini PC Ansor Trenggalek mengunjungi kantor Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat (Bakesbangpol Linmas) Kabupaten Trenggalek. Kedatangan pengurus Ansor yang dipimpin ketua terpilih, sahabat Izzudin Zaki (Gus Zaki) ini, tidak lain untuk menjalin koordinasi dan sinergitas dalam upaya membangun kemaslahatan umat.

 

Dalam giat ini Ansor ditemui langsung oleh kepala Bakesbangpol Linmas, Drs. Widarsono, MM. Dalam kesempatan itu  Gus Zaki menyampaikan bahwa GP Ansor siap menjalin sinergi, terutama dalam penanggulangan radikalisme yang berada di lingkup sekolah di Kabupaten Trenggalek.


"Tadi kami menyampaikan beberapa hal terkait dengan program kerja Ansor, dan proker itu supaya nanti dapat dilaksanakan maka harus mengadakan pemetaan dan koordinasi lintas sektor, termasuk koordinasi terkait program deradikalisasi dengan Kesbangpol", jelas Gus Zaki. (ltf)
Share:

Adakah Pakaian Islami?

Oleh : Afrizal El Adzim Syahputra, Lc., MA
(Pengurus PC GP Ansor Trenggalek)

Dalam pembahasan Bab Pakaian Rasulullah saw, Syekh Yusri, seorang Mursyid Thariqah dan Dokter ahli bedah di Mesir menjelaskan bahwa Beliau saw semasa hidupnya memakai pakaian sederhana dan yang biasa dipakai oleh Masyarakat saat itu pada umumnya. Beliau memakai pakaian apa yang ada saat itu dari berbagai Negara , baik dari Qatar, Syam, Persia, Mesir, Romawi dan lain sebagainya. Jadi tidak ada istilah pakaian islami, Sehingga yang disebut dengan pakaian yang mengikuti sunnah adalah pakaian yang mengikuti adat kebiasaan setempat pada masanya. Bahkan seandainya Nabi saw hidup pada zaman sekarang, maka beliau akan memakai Jas lengkap dengan Dasinya.
 
      Ketika Syekh Yusri mengisi pengajian di Masjid al Azhar Cairo, beliau seringkali memakai jas dan dasi karena beliau adalah dokter bedah. Setelah bertugas sebagai dokter di Rumah Sakit, seringkali beliau langsung berangkat ke Masjid untuk menyampaiakan pengajian tanpa ganti pakaian terlebih dahulu, sehingga ketika menyampaikan pengajian, beliau masih memakai baju jas lengkap dengan dasi dan celananya. Kemudian salah seorang murid pengajian beliau yang kebetulan seorang pengacara, merekam video pengajian beliau tersebut. Sang murid bercerita bahwa saudarinya yang tinggal di Riyadh , Arab Saudi bermimpi melihat Rasulullah saw di kursi yang diduduki oleh Syekh Yusri tersebut dan menyampaikan pengajian di majlis itu dengan memakai setelan Jas lengkap dengan dasi, padahal saudari sang pengacara itu belum pernah melihat video pengajian Syekh Yusri yang direkam oleh saudaranya. Dan tidak menutup kemingkinan seandainya Rasulullah saw diturunkan di Negara Indonesia, khususnya di Tanah Jawa, maka belia pasti akan pernah memakai blangkon dan sarung

      Sholat jama'ah yang dilakukan di Masjid di Mesir juga tidak semuanya memakai jubah, ada bebrapa yang memakai celana jeans, bahkan celana jeans di sana merupakan pakaian yang idel untuk musim dingin, karena celana jeans itu tebal dan bisa digunakan untuk meminimalisir aura dingin. Dalam melaksanakan sholat pun, para wanita mesir tidak pernah memakai mukena sebagaimana wanita Indonesia, sebab mukena itu hanya pakaian sholat yang ada di negara tertentu saja. Wanita mesir cukup memakai pakaian yang seperti jubah untuk melaksanakan ibadah sholat. Di daerah Eropa juga tidak mengenal istilah sarung ataupun blangkon atau pakaian pakaian lain yang dipakai oleh mayarakat Indonesia, mereka banyak yang memakai pakain jeans dan ditambah lagi dengan menggunakan sepatu yang tebal ketika keluar rumah pada waktu musim dingin. Mengapa demikian ? Karena musim dingin di Eropa bisa mencapai divawah nol derajat, sehingga membutuhkan pakaian yang tebal umtul melindungi tubuh dari hawa dingin

       Menurut Gus Mus,, dewasa ini, umat Indonesia cenderung mengenakan pakaian gaya Arab; berjubah putih, berserban, dan memelihara jenggot. Mereka menyangka, kata dia, yang demikian itu merupakan salah satu ittiba’ (mengikuti jejak) Nabi Muhammad. Mereka kira, pakaian yang mereka pakai itu pakaian Kanjeng Nabi. Padahal, jubah, serban, sekalian jenggotnya, itu bukan pakaian Kanjeng Nabi. Abu Jahal juga begitu, karena itu pakaian nasional (Arab). Kanjeng Nabi sangat menghormati tradisi tempat tinggalnya. Buktinya ia memakai pakaian Arab. Nabi tidak membikin pakaian sendiri untuk menunjukkan bahwa dia Rasulullah saw. Seandainya, kalau Rasulullah itu lahir di Texas, mungkin pake jeans. Makanya Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid), saya, make pakaian sini (Jawa); pake batik,”

        Bahkan walaupun seorang ulama atau kyai, tapi Cak Nun selalu berpakaian seperti layaknya orang biasa. Bisa dikatakan tidak ada bedanya dengan penjual batu akik, buruh pabrik atau sales kaos kaki. Menurutnya, senadainya beliau datang mengisi pengajian dengan berpakaian gamis dan sorban, memang tidak ada salahnya. Cuman beliau takut semua orang akan berkesimpulan bahwa beliau lebih pandai daripada yang lain. adi sebenarnya sunnah Rasul yang paling mendasar adalah Akhlaknya bukan kostumnya. Orang yang disukai Tuhan adalah orang yang menyebut dirinya buruk, biso rumongso, nggak rumongso biso. Orang yang diragukan keihklasannya adalah orang menyebut dirinya baik. Semua nabi mengaku dirinya dzolim : (aku termasuk orang yang dzolim). Nggak ada nabi yang mengaku dirinya sholeh. Kalau ada orang yang mengaku paling benar atau alim, maka perlu ditanyakan tentang kealimannya.
Share:

Rabu, 20 Maret 2019

Ansor Trenggalek Sambang Polres untuk Jalin Kerjasama


Ansor Trenggalek Online - Pimpinan Cabang (PC) Gerakan Pemuda (GP) Ansor Trenggalek, Jum'at (15/3/2019) mengunjungi Polres Trenggalek. Kedatangan badan otonom (Banom) NU yang membidangi kepemudaan tersebut, untuk berkoordinasi berbagai persoalan kemasyarakatan serta dinamika perpolitikan bersama aparat penegak hukum.

Dalam kesempatan itu, GP Ansor menyampaikan beberapa hal termasuk upaya mengembalikan fungsi masjid sebagai pusat dakwah yang menyejukkan. Karena akhir-akhir ini marak masjid disalahgunakan untuk kepentingan politik praktis dengan kampanye terselubung, serta maraknya ceramah-ceramah yang provokatif.


Bak gayung bersambut, Kapolres Trenggalek pun menyambut baik kunjungan ini. Ia mengajak Pemuda Ansor untuk bekerja sama dalam mengadakan kegiatan-kegiatan di masjid dengan nuansa yang sejuk sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah SAW, agar masyarakat lebih faham dengan konsep Islam yang sebenarnya, serta kerjasama deradikalisasi di lembaga-lembaga pendidikan. (LTF)



Share:

Kamis, 14 Maret 2019

Ansor Panggul Konferancab, Machrus Alwi Terpilih Sebagai Ketua


Panggul –  PAC (Pimpinan Anak Cabang) GP (Gerakan Pemuda) Ansor Panggul menyelenggarakan Konferancab (Konferensi Anak Cabang) di PP. As Salafi Darul Ummah, Desa Nglebeng, pada Ahad (15/4/2018) kemarin.

Forum musyawarah tertinggi tingkat Anak Cabang tersebut membahas beberapa agenda, diantaranya: perumusan program kerja, penyampaian laporan pertanggungjawaban, dan pemilihan Ketua.

Seperti dituturkan Ketua Panitia, Aris Taufiqin, ada beberapa program kerja prioritas yang berhasil ditetapkan, antara lain kaderisasi dan pemberdayaan kader terutama di bidang ekonomi.

“Intinya pemerataan (kaderisasi). Targetnya semua desa, selain ada kadernya, Pengurus Rantingnya juga semakin aktif,” kata Aris.

Selain merancang program kerja, Konferancab juga melaksanakan suksesi kepemimpinan. Pemilihan Ketua Ancab Panggul untuk periode 2018–2020 dihadiri oleh 17 delegasi dari Pengurus Anak Cabang dan Pengurus Ranting se-Kecamatan Panggul.

Melalui mekanisme voting, akhirnya Machrus Alwi, terpilih sebagai Ketua PAC GP Ansor yang baru.
Mantan Ketua Ranting Depok tersebut mengalahkan empat kandidat lainnya dengan mengantongi 10 suara. Empat suara memilih Ahmad Munir, dan satu suara memilih Asrofi. Sedangkan dua suara abstain.

Sementara itu, Ketua Demisioner, Agus Muhdor Abdul Aziz, menyampaikan pesan dan harapan bagi periode kepengurusan yang baru. Salah satunya adalah penguatan ideologi kader. Menurut Gus Aziz, sapaan akrabnya, jika ada kajian pemikiran tokoh-tokoh NU oleh Ansor Panggul, selama ini yang dikaji masih sebatas pemikiran Gus Dur.

“Kita punya banyak tokoh sepuh NU. Setidaknya, tiga tokoh sentral NU: Kyai Hasyim, Kyai Wahab, dan Kyai Bisri. Semoga kedepan, pemikirannya dikaji rutin oleh sahabat-sahabat Ansor Panggul,” kata kyai muda pengasuh PP. Sabilul Hidayah tersebut.

Konferancab yang berlangsung sehari mengambil tema “Menanamkan Militansi Kader Guna Merevitalisasi Gerakan Pemuda Ansor yang Rahmatan lil ‘Alamin”. Hadir dalam kegiatan tersebut antara lain utusan PCNU, Ketua PC GP Ansor, segenap Banom NU di Kecamatan Panggul, dan Forkopimka (Forum Komunikasi Pimpinan Kecamatan) Panggul.

(Anisa Apriliyani/Androw Dzulfikar)

Share:

Halalbihalal GP Ansor Watulimo, Merajut Ukhuwah Menebar Kasih menuju Generasi Milenial Aswaja


Watulimo – Pimpinan Anak Cabang (PAC) Gerakan Pemuda (GP) Ansor Watulimo menggelar Silaturahim dan Halalbihalal bersama Pengurus PAC, Ranting, dan Banom NU lainnya serta Pengurus Majelis Wakil Cabang (MWC) NU Watulimo, pada Sabtu (30/6).

Kegiatan yang bertajuk “Merajut Ukhuwah Menebar Kasih menuju Generasi Milenial Ahlussunnah wal Jamaah” ini menghadirkan Ketua Pengurus Cabang (PC) NU Trenggalek, KH. Fatchulloh Sholeh.

Dalam acara yang digelar di SMP Islam Slawe ini, KH. Fatchulloh Sholeh berkenan memberikan pembinaan dan pembekalan organisasi bagi PAC GP Ansor Watulimo.

“Terus bangun komunikasi dan konsolidasi organisasi, baik internal maupun dengan pengurus MWC NU dan Banom NU lainnya, agar visi, misi, dan program organisasi bisa terealisasi dengan baik,” pesan Gus Loh, sapaan akrab beliau.

Gus Loh menambahkan, melalui komunikasi dan silaturrahim yang terbangun dengan baik, setiap problem dalam sebuah organisasi bisa terurai dan terpecahkan dengan baik pula, tanpa menimbulkan permasalahan yang lain. Di samping itu, manajemen administrasi organisasi juga harus diperkuat.

Halalbihalal diawali pembacaan ayat suci Al Qur’an oleh Sahabat Irvan Hadi Saputra (Sekretaris PR GP Ansor Slawe), menyanyikan lagu Indonesia Raya dan mars Syubbanul Wathon yang dipimpin Sahabat Imam Mustofa (Bendahara PAC GP Ansor Watulimo), dilanjutkan dengan sambutan-sambutan.

(Myanto/Androw Dzulfikar)
Share:

Ansor Munjungan Kembangkan Sayur Hidroponik

 

Sebagai wujud pemberdayaan dan kemandirian ekonomi organisasi, Pimpinan Anak Cabang Gerakan Pemuda Ansor Munjungan mencoba mengembangkan budidaya tanaman sayur dengan sistem hidroponik.

Pengembangan sayuran hidroponik tersebut dipusatkan di lahan sekitar Dalem Kademangan Munjungan yang merupakan tanah aset warga NU Kecamatan Munjungan.

Ketua PAC GP Ansor Munjungan, sahabat Imam Nurhadi, M.Pd.I mengatakan bahwa gagasan ini berawal dari adanya lahan di sekitar sekretariat Dalem Kademangan yang belum dimanfaatkan secara maksimal.

"Ada lahan di sekitar sekretariat kami yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan ekonomi produktif bagi organisasi. Kebetulan salah satu kader kami adalah lulusan fakultas pertanian dan siap mengembangkan ilmu pertanian yang ia miliki. Untuk kebutuhan konsumsi sayuran di wilayah Munjungan sangat besar, sementara suplay sayuran harus mengambil dari luar wilayah, inilah yang kemudian menjadi pertimbangan kami untuk memproduksi sayuran yang harapannya dapat menambah income organisasi". Jelasnya.

Sayuran hidroponik yang dikembangkan Ansor Munjungan ini dikelola oleh kader Ansor Munjungan sendiri, sahabat Anas Maliki yang baru saja lulus dari fakultas pertanian Universitas Borneo, Tarakan Kalimantan Utara.


Ia mengatakan bahwa teknik budidaya sayur hidroponik ini sangat mudah ketika sudah memahami teori dan praktiknya.

"Sistem hidroponik itu memanfaatkan air sebagai sarana utama penyediaan nutrisi bagi tanaman. Selain itu sayur hidroponik tidak mudah terserang penyakit karena tanaman tidak bersentuhan langsung dengan tanah. Tentunya hasil panen sayuran hidroponik lebih segar dan lebih sehat untuk dikonsumsi karena tidak menggunakan pupuk dan pestisida kimia". Jelas sahabat Anas.

Untuk pemasaran hasil panen, tidaklah sulit. Bahkan untuk panen perdana saja sudah banyak konsumen yang datang sendiri ke kebun hidroponik, membeli sayuran segar sekaligus melihat proses budidayanya. (ltf)
Share:

Kekeliruan-kekeliruan dalam Memahami 'Kafir' dalam Al-Qur'an

 
Pada pembukaan Kongres kelima Jam’iyyatul Qurra wal Huffazh Nahdlatul Ulama, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj meminta para penghafal, pembaca, dan pengkaji Al-Qur’an di kalangan NU jangan sampai jatuh pada hadits Nabi yang artinya: “membaca Al-Qur’an hanya sampai di tenggorokan”. 

Ungkapan itu, maksudnya tiada lain adalah orang yang membaca Al-Qur’an, tapi pemahamannya tidak sampai di hati dan praktik. 

Karena itulah, para ahli Al-Qur’an NU harus bisa memahaminya sebagaimana para ulama terdahulu. Sebab, jika keliru akan berakibat fatal. Misalnya dalam memahami kata kafir, jika salah, akan berakibat terkucurnya darah seseorang atau sekelompok orang.  

Abdurrahman bin Muljam misalnya, adalah orang yang memahami ayat Al-Qur’an dengan cara salah. Sayidina Ali, sahabat dan sekaligus menantu Nabi Muhammad yang termasuk kalangan pertama memeluk Islam, dianggap kafir karena dianggap tidak menggunakan hukum Allah berdasarkan ayat Al-Qur’an. Darah pun terkucur.  

Grand Syekh Al-Azhar saat berkunjung ke PBNU pada awal Mei Tahun ini mengajak umat Islam untuk tidak mengkafirkan orang yang masih bersyahadat dan menghadap kiblat. Apalagi karena berbeda pilihan partai politik. 

Ada mekanisme tertentu untuk menyebut orang sebagai kafir. Kalaupun iya seseorang jelas kafir, ada mekanisme tertentu dalam memeberikan hukum kepadanya. Tidak gampang. 

Bahkan di dalam Al-Qur’an sendiri, dalam konteks tertentu, kafir ada yang bermakna menimbun biji di dalam tanah. Ada juga yang bermakna, seseorang yang tidak mensyukuri nikmat. 

Bagaimana sebetulnya cara memahami Al-Qur’an itu agar tidak jatuh pada penafsiran yang salah? Abdullah Alawi dari NU Online berhasil mewawancarai pakar Al-Qur’an, seorang ahli dalam qiraah sab’ah, penghafal Al-Qur’an, pemimpin pondok pesantren Al-Qur’an, doktor lulusan di Madinah dengan hasil cum loude, yaitu KH Ahsin Sakho Muhammad, di Pondok Pesantren Asshidiqiyah Karawang, 15 Juli lalu. 

Reputasinya dalam bidang Al-Qur’an diakui banyak orang. Dia pernah menjadi Rektor Institute Ilmu Al-Qur’an (IIQ), dosen tafsir di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ). 

Tak heran kemudian, para ahli Al-Qur’an di NU mempercayakan posisi Rais Majelis Ilmi Pimpinan Pusat Jam’iyyatul Qurra wal Huffazh Nahdlatul Ulama kepadanya. Bahkan beberapa periode hingga hari ini. 

Berikut petikannya:

Bagaimana JQHNU mendidik penghafal dan pengkaji Al-Qur’an agar tidak jatuh pada ungkapan dari Nabi Muhammad "ada orang membaca Al-Qur'an hanya sampai pada tenggorokan"?

Al-Qur’an kitab yang rahmatan yang lil alamin. Jangan melihat Al-Qur’an dengan satu mata saja. Melihat Al-Qur’an harus secara menyeluruh. Jangan memahami Al-Qur’an seenaknya sendiri, tidak menggunakan dan melihat yang lain-lain, misalnya asbabun nuzul. Jangan menggunakan satu dalil saja, misalnya dalam masalah hukum: inil hukmu ila lilllah {Sesungguhnya hukum itu hanya milik Allah (Yusuf ayat 40)}. Jangan Itu saja. Misalnya lagi, apakah mereka akan mencari hukum jahiliyah pada ayat, “Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Al-Maidah: 50). 

Jika hanya menggunakan ayat itu, selain hukum Islam, berarti hukum jahiliyah. Nah, begitu kan. Sekarang di Indonesia itu hukumnya peninggalan Belanda. Berarti kalau begitu hukum jahiliyah. Orang (yang berpendapat seperti ini) tidak membeda-bedakan mana hukum bersifat sipil yang merupakan wewenang dari negara, mana yang merupakan wewenang dari syara. Mereka tidak melihat di Indonesia adalah negara yang memperbolehkan shalat, haji, wakaf ada, perbankan (syariah) ada. Apalagi coba? Apakah akan "gedung" itu dihancurkan dulu? Kalau ada konsep yang tidak cocok, ya itu saja ketidakcocokannya (yang diubah), misalnya ketidakadilan; bagaimana umat Islam supaya menciptakan orang-orang baik yang penuh dengan keadilan. Kalau sistemnya dirombak dulu, wah, itu sih terlalu jauh dan hasilnya juga belum tentu. 

Dan begini saja sudah kehidupan keislaman, islami. Kehidupan islami itu apa? Islam itu luas sekali berkaitan dengan unsur-unsur kemasyarakatan, kepribadian. Orang yang hidup di desa, mengerjakan shalat lima waktu, akhlaknya bagus, tidak menyakiti orang lain; sudah dia hidup dalam kehidupan yang islami; di negara apa saja. Nah, sekarang orang yang hidup di Amerika, apa negaranya harus dihancurin dulu? 

Ini (Indonesia) adalah namanya darul mu’ahadah (negara hasil perjanjian), darul muwathanah (negara kebangsaan) negara Indonesia ini. Nabi sendiri pada waktu hidup di Madinah bersama dengan orang Yahudi dan berbagai suku. Apakah hidup pada waktu itu disebut hidup di zaman jahiliyah (karena Nabi menggunakan hukum Piagam Madinah berdasarkan kesepakatan semua elemen)? Kan enggak juga. Jadi pemahaman-pemahaman seperti inilah yang harus diserap oleh orang-orang yang masih memiliki pemahaman yang masih dangkal, pemahaman yang dangkal. (Al-Qur’an dipahami) dari segi lafaznya saja. Ngajinya bagus. Kalau mengajarkan juga bagus. Tapi pemahaman yang dibaca masih setengah-setengah. 

Apa Abdurrahman bin Muljam yang membunuh Sayidina Ali dengan alasan ayat Al-Qur’an termasuk orang yang memahaminya setengah-setengah?  

Ibnu Muljam, ia melihatnya Sayidina Ali itu bermusyarawah dalam menentukan hukum; kan (di dalam Al-Qur'an ada ayat) وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ (dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu, QS Ali Imran 159). Ia tidak melihat itu. Itu yang bahaya sekali kalau pemahaman seperit itu. Makanya saya tulis Oase Al-Qur’an, buku saya. Bagian-bagian pertama inti-inti ajaran Islam itu adanya di sini. Ada enggak surah-suarah Makiyah (surat atau ayat yang turun di Makkah) menyuruh orang-orang bertindak seperti itu. Enggak ada.

Orang yang menafsirkan Al-Qur’an sepotong-sepotong atau setengah-setengah dan tidak melihat ayat yang lain itu bagaimana? 

Wah, itu berarti dia kesalahan dalam memahami metode menafsirkan karena Al-Qur’an yufassiru ba’dluhu ba’dlan; Al-Qur’an itu saling menafsirkan satu ayat kepada ayat yang lain, yaitu perkataan ulama ahli tafsir. 

Di dalam ayat Al-Qur’an ada, fa anzalna dzikra litubayyina linnasi; kami menurunkan kepada kamu Al-Qur’an ini supaya kamu menjelaskan; jadi ayat Al-Qur’an itu global-global saja. Bagian Nabi itu adalah menjelaskan. Orang seperti itu, tidak melihat hadits-hadits Nabi. Orang seperti Ibnu Mujmam. Ada hadits la yahillu, tidak halal darahnya seorang Muslim kecuali dengan tiga sebab, yang satu qathlu nahs, membunuh orang lain. Kedua karena zina muhsan, yang ketiga karena murtad. Jadi tiga itu saja. Kenapa Ibnu Muljam tidak merujuk hadits ini? Orang diperbolehkan membunuh orang lain itu hanya itu saja. Jadi, ada batasan-batasan tertentu. 

Khulafaur Rasyidin juga banyak hasil musyawarah. Kalau seandainya ada yang diketahui dari Nabi, langsung dikemukakan. Kalau seandainya tidak diketahui, dimusyawarahkan. Al-ittifiaqu sahabah, hujjah (kesepakatan para sahabat Nabi bisa dijadikan dalil). Ada ilmunya begitu. 

Itu sudah diprediksi oleh Nabi, akan ada kelompok orang yang dia itu goyang kaki saja kemudian dia mengatakan, "saya hanya berhukum dengan Al-Qur’an saja". Kalau begitu kan salah juga karena Allah percayakan untuk menjelaskan isi kandungan Al-Qur’an baik melalui qaul (perkataan), maupun fi’li (perbuatan).

Kenapa di awal sejarah Islam melahirkan orang seperti kan masih dekat dan pernah mengalami bersama Nabi? 

Jadi, setelah perang Hunain, tahun kedelapan hijriah; itu nabi bisa mengatasi pemberontakan orang Hunain, Tsaqif. Nabi banyak mendapatkan hewan, untanya banyak, kambingnya banyak. Kemudian Nabi membagikannya. Semuanya dibagikan. Nabi tidak membawanya sama sekali. Akhirnya ada orang yang nyeletuk di hadapan Nabi, didengarkan. "Wah, Nabi enggak beres nih, Nabi enggak adil." Nabi menanggapi; "Siapa lagi yang adil kalau Rasulullah tidak adil? Kamu tahu tidak, saya bagikan kepada mereka supaya mereka mau masuk Islam." Nah, (terhadap) orang yang nyeletuk itu, dikatakan (Nabi), akan muncul dari keturunan orang itu, yang keras-keras, lupa juga namanya. 

Kenapa Nabi waktu itu dianggap tidak adil?

Karena Nabi tidak membagikan harta rampasan perang Hunain untuk mereka yang berperang. Tidak ada yang dibagi. Hanya orang-orang tertentu, sahabat yang tidak ikut berperang. Sahabat yang ikut perang tidak usah mendapat bagian lagi. Nabi memahami semuanya. Nabi berkata, “Kamu dulu kafir, siapa yang mengislamkan kamu.” Semuanya pada nangis. Ya sudah, kami akan berpulang bersama Nabi. Kemudian, setelahnya itu munculnya Ibnu Muljam dan yang lain-lain karena Nabi prediksinya seperti itu. 

Jika saat ini orang seperti dia masih ada dan jumlahnya mungkin banyak, apakah mungkin ada pihak yang membuatnya selalu ada? 

Ya, ada, ada. Jadi, ada kekosongan pada tingkat kelas menengah, yang harus diisi, ada pihak yang memberikan wejangan kelas menengah. Mereka tertarik pada orang yang bisa membaca Al-Qur’an, tahu hadits, ceramahnya memikat, akhirnya hijrah. Tapi kalangan menengah ini tidak mempunya basis pengambilan keputusan dari Al-Qur’an dan hadits. Jadi akhirnya muncul pemikiran-pemikiran radikal itu. Dan mereka tidak mempunyai mahaguru yang mengarahkan. 

Kembali lagi ke masalah tadi, apa hikmah Allah dalam membuat Al-Qur’an yang memungkinkan orang memahaminya secara sepotong-spotong? 

Jadi begini ya, Al-Qur’an itu kan ada konteks turunnya, ada konteks ayat; seperti Al-Maidah 50. Ini konteksnya mereka yang meminta hukum kepada selain nabi. Konteksnya ini Yahudi dan Nasrani kemudian kaum Muslimn. Hal yang berkaitan dengan hukum-hukum Islam mereka ingin mencari hukum lain, selain hukum Islam dalam hal syariat, seperti orang Yahudi itu. Mereka kalau berzina muhsan (orang yang yang sudah bersuami atau beristri melakukan zina), mereka ingin mencari agar supaya hukumannya tidak berat. Kalau hukuman yang sebenarnya itu adalah dirajam. Yang kedua, hukum yang lain itu cuma dicoreng-corengg saja. Itu berarti orang yang mencari hukum selain hukum Allah, konteksnya orang Yahudi, Nashrani. 

Bahwa di Indonesia belum bisa seperti itu karena ini kan kesepakatan, daulah kesepakatan, darul mu’ahadah. Kemudian kita melihat pelaksanaan hukum itu, berkaitan dengan pidana itu tidak gampang karena berkaitan dengan darah. Di Indonesia itu kan berbagai macam suku, berbagai macam agama, kesepakatannya bagaimana? Jadi, kita itu harus yakin bahwa yang terbaik itu hukum Allah, tapi kalau ada situasi dan kondisi seperti ini, maka tidak harus memaksa seperti itu. 

Kita yang penting bahwa orang yang salah itu harus dihukum, itu saja. Produk hukumnya apa? Ya terserah. Ya apa saja. Orang yang mencuri dihukum, korupsi dihukum, orang zina dihukum. Di Indonesia orang yang berzina tidak dihukum, itu tidak sesuai. Tapi jangan langsung bahwa ini jahiliyah. Orang kalau ingin amar ma’ruf nahi munkar, tanamkan dahulu amar ma’rufnya. 

Ada empat tahapan kalau seandainya memberantas kemunkaran akhirnya bisa menghilangkan kemunkaran itu bagus. Kalau seandainya meminimalisir kemunkaran, itu bagus juga. Tapi kalau seandainya pemberantasan kemunkaran sama saja, itu jangan. Kalau seandaianya kita memberantas kemunkaran dan menimbulkan kemunkaran yang baru, tidak boleh. Haram itu. Ada bagian-bagian khusus pemerintah, polisi, itu bukan wewenang kita. Jadi, sebagian kelompok di Indonesia menghilangkan kemunkaran langsung oleh masyarakat; seharusnya kita tekan pemerintah untuk ikut terjun. 

Bagaimana Abdurrahman bin Muljam memahami wa man lam yahkum bima anzalallah itu? 

Salah dia itu. Salah dia itu. Wa man lam yahkum itu, pertama adalah ayat itu wa ulaika humul kafirun. Kafir di situ, menurut Ibnu Abbas, kufrun duna kufrin. Artinya bukan kufur yang sampai orang keluar dari Islam. Tidak. Kata Ibnu Abbas sendiri. Salah seorang sahabat Nabi itu.         

Menghukumi kafir itu tidak gampang. Apa kita setiap orang mempunyai hak untuk mengkafirkan orang. Kan tidak gampang. Harus dipanggil dulu. Menurut saudara apa? Kalau dia mengakui hukum selain Allah lebih hebat, ya sudah, suruh taubat dulu, taubat, taubat. Setelahnya itu yang harus mengeksekusi siapa? Mahkamah. Sementara selain mahkamah kita tidak mempunya hak seperti itu.

Tidak boleh orang bertindak sendiri-sendiri meskipun sandarannya kitab suci? 

Tidak boleh. Tidak boleh. Tidak boleh. Karena ini berkaitan dengan darah. Darah itu yang melakukannya kekuatan tertinggi, pemerintah. Kalau pemerintah, ya harus melalui undang-undang. Nabi Sendiri yang melakukannya. 

Lalu, kenapa dia sampai pada pemahaman kafir dalam arti layak untuk dibunuh? 

Pengertian kafir di dalam Al-Qur’an menunjukkan bahwa beberapa arti. Ada kuffar yang artinya petani. Petani itu menimbun, menutupi biji dengan tanah. Kuffar itu. Ada kuffar di dalam Al-Qur’an yang berarti kufur nikmat. Itu kufar juga. Lain syakartum laazidannakum, wa lain kafartum inna adzabi lasyadid. Orang kufur nikmat, kufur juga, seorang kafir juga. Tapi tidak sampai menjadikan orang itu, kafir yang keluar dari Islam. Jadi, harus berhati-hati betul. Hati-hati betul. Harus ngaji dulu tuh; kafir, kafir aja. 

Nabi sendiri menafsirkan atau memahami Al-Qur’an itu bagaimana? 

Nabi itu, menafsirkan Al-Qur’an teks dengan teks itu jarang. Tidak banyak. Yang lebih banyak, nabi menjelaskan melalui pekerjaannya, melalui fi’ilnya, af’alnya. Oleh amalinya. Shalat, itu penerjemahan dari Al-Qur’an, semua hukumnya Nabi adalah yang dia pahami dari Al-Qur’an. Semua sunah nabi itu adalah syarah (penjelasan) dari kitab-Nya. Nabi tidak secara sepesifik, ngaji kitab tafsir. Kitab tafsir tidak ada. Jadi, misalnya Nabi mengatakan, fawajada abdan; bilangan rakaat itu berapa, Nabi yang mengajarkan (dengan praktik). Haji, caranya puasa, zakat. Itu syarhun likitabillah (penjelasan terhadap Al-Qur'an). 

Jadi, tidak bisa Al-Qur’an saja. Enggak boleh. Itulah tidak boleh menafsirkan Al-Qur’an sekenanya saja. Orang menafsirkan Al-Qur’an dari terjemahnya, salah lagi. Terjemahan itu tidak bisa merangkum ayat suci Al-Qur’an. Terjemah itu terbatas. Ungkapan untuk mengambil pemahaman dari ayat Al-Qur’an hanya dengan terjemahan bahasa Indonesia, tidak bisa. Rabbul ‘alamin, Tuhan semesta alam. Itu masih kurang. Rabbul ‘alamin itu berarti sayyidul ‘alamin, malikul ‘alamin, murabbil ‘alamin; yang mengurus, yang mendidik, yang mempunyai, yang menjadi sayid (tuannya); itu ada di situ. Alhamdu puji. Sana puji lagi. Madhu, puji lagi. 

Padahal berbeda antara al-madhu dan sana’u dan alhamdu itu berbeda. Sana’u kalau orang melihat orang lain baik. Kalau al-hamdu itu ada yang sampai pada syukur. Kalau mendapat kenikmatan dari orang lain, ya kita syukuri. Saya terima kasih kepadamu. Ya pujian juga. Berarti al-madhu itu. As-sanau, berbeda lagi. Wah, ada orang hebat banget, tampan banget, cerdas banget, itu namanya wa sana’u. Kalau al-hamdu itu dua-duanya. 

Supaya memhami Al-Qur’an tidak jatuh pada cara memahami seperti Abdurrahman bin Muljam bagaimana?

Ya harus belajar tafsir. Kita tidak boleh menafsirkan Al-Qur’an seenaknya sendiri. itu tafsir bi ra’yi almadmum, tafsir dengan pikiran yang tercela.  Banyak itu,  tidak menggunakan ilmu-ilmu yang spesial dalam menafsirkan Al-Qur’an. Sekenanya saja. Tafsir yang mengandalkan, menggunakan bahasa Arab saja, tak bisa juga. Kemudian tafsir bil-hawa, tafsir dengan hawa nafsunya sendiri saja.

Sumber : NU Online
Share:

Lima Pendekatan Dakwah Wali Songo

Wali Songo memiliki peran yang sangat signifikan dalam sejarah perkembangan Islam di Nusantara, utamanya. Bagaimana tidak, selama tujuh abad lamanya –sejak abad ke-7 hingga ke-14- Islam ‘tertolak’ di wilayah Jawa. Namun pada saat akhir abad ke-14 atau awal abad ke-15, hampir semua masyarakat di pesisir pantai utara Jawa sudah memeluk Islam. Tidak lain itu diyakini sebagai hasil dakwah dari Wali Songo. 

Oleh sebab itu, ada penilaian kalau dakwah Wali Songo adalah dakwah yang paling sukses dan berhasil karena mampu mengislamkan masyarakat Jawa. Yang tidak kalah menarik, perubahan masyarakat Jawa, dari agama sebelumnya –Hindu, Budha, Kapitayan, dan lainnya, menjadi Muslim, hanya berlangsung sekitar 50 tahunan. Lagi-lagi, itu merupakan hasil dari kecanggihan dan kejeniusan dakwah Wali Songo.

Lantas, bagaimana ada apa strategi dakwah yang dilakukan Wali Songo sehingga membuahkan hasil yang gemilang seperti itu? Dalam buku Islam Indonesia, Islam Paripurna: Pergulatan Islam Pribumi dan Islam Transnasional (Imdadun Rahmat, 2017), setidaknya ada lima pendekatan dakwah yang digunakan Wali Songo. 

Pertama, pendekatan teologis. Maulana Malik Ibrahim dan Sunan Ampel adalah yang menggunakan pendekatan ini. Mereka berdakwah bahkan hingga ke tingkat lapisan masyarakat paling bawah (waisya dan sudra) saat itu. Masyarakat diajari tentang nilai-nilai Islam, perbedaan antara pandangan hidup Islam dengan yang lainnya, dan menanamkan dasar-dasar Islam.

Kedua, pendekatan ilmiah. Tidak seperti dua sunan sebelumnya, Sunan Giri berdakwah dengan cara menggunakan pendekatan ilmiah. Ia membangun pesantren, membuat pelatihan dan pengkaderan, serta menugaskan muridnya untuk berdakwah di suatu tempat. 

Tidak hanya itu, Sunan Giri juga menggunakan permainan sebagai medium untuk berdakwah. Oleh karena itu, ia menciptakan permainan anak-anak seperti jemblongan, tembang syair seperti ilir-ilir, padang bulan, dan lainnya. Singkatnya, Sunan Giri mengembangkan dakwah secara sistematis dan metodologis.  

Ketiga, pendekatan kelembagaan. Tidak semua anggota Wali Songo berdakwah di masyarakat langsung. Ada juga yang berdawah di pemerintahan. Mereka adalah misalnya Sunan Kudus dalam Kesultanan Demak Bintoro dan Sunan Gunung Jati di Kesultanan Cirebon. Mereka ikut serta mendirikan kesultanan dan aktif di dalamnya. Mereka memiliki pengaruh yang besar di kalangan bangsawan, birokrat, pedagang, dan kalangan elit lainnya.

Keempat, pendekatan sosial. Sunan Muria dan Sunan Drajat lebih senang hidup jauh dari keramaian. Mereka memilih untuk berdakwah pada masyarakat kecil di desa-desa atau kampung-kampung. Mereka mengajarkan masyarakat kecil untuk meningkatkan pemahaman keagamaannya. Mereka juga membina masyarakat agar kehidupan sosialnya meningkat.

Kelima, pendekatan kultural. Dalam berdakwah, Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang lebih menonjol menggunakan pendekatan kultural. Mereka sadar bahwa budaya adalah sesuatu yang sudah mendarah daging di masyarakat. Jika langsung ditolak, maka masyarakat akan emoh mengikutinya. Solusinya, keduanya melakukan islamisasi budaya. Budaya-budaya yang sudah ada dan berkembang disisipi dengan ajaran-ajaran Islam. Tidak hanya itu, mereka juga menciptakan budaya-budaya baru yang mengandung nilai-nilai Islam. Diantara produk budaya yang mereka ciptakan dan masih ada hingga hari ini adalah Gamelan Sekaten (dari kata syahadatain), Gapura Masjid (berasal dari kata ghofura), baju takwo (dari kata takwa), dan lain sebagainya. 
  
Disadari atau tidak, dakwah merupakan kunci utama untuk memperkenalkan Islam kepada mereka yang tidak atau belum tahu tentangnya. Berhasil atau tidaknya dakwah sangat dipengaruhi oleh orang yang melakukan dakwah itu sendiri. Sejauh mana ia memahami ajaran agama Islam. Sejauh mana ia mengenal sasaran dakwahnya (masyarakat). Dan seberapa lihai ia mentransformasikan ajaran agama Islam kepada masyarakat sehingga diterima dengan baik. 

Melalui lima pendekatan di atas, Wali Songo terbukti mampu mengislamkan hampir seluruh masyarakat di pesisir pantai utara Jawa dalam tempo waktu yang cukup singkat. Diakui atau tidak, itulah dakwah yang sangat gemilang. Dari situ, umat Islam kini bisa saja mencontoh atau meneladani apa yang telah dikerjakan Wali Songo. Tentunya dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian sebagaimana dengan situasi dan kondisi masa kini. (A Muchlishon Rochmat)
Share:

Kisah Orang Jahat Diampuni Allah karena Merawat Anak Yatim

 
Dalam kitabnya Mukasyafatul Qulub, Imam Al-Ghazali pernah mengisahkan bahwa suatu ketika ada seorang pria Basrah yang jahat di masa hidupnya, dan ketika meninggal tidak ada satupun orang yang mau menshalati dan mengantarkan jenazahnya ke tempat pemakaman.

Bahkan sang istripun sampai membayar dua orang untuk memikul jenazah suaminya untuk dibawa ke musholla, agar dishalati. Namun tidak ada seorangpun yang mau menshalati jenazah suaminya tersebut, sehingga sang istripun membawa jenazah suaminya tersebut ke lahan luas  untuk dimakamkan.

Namun tak jauh dari lahan luas yang menjadi tempat untuk memakamkan suaminya tersebut, hiduplah seorang ahli ibadah yang rumahnya berada di atas gunung. Sang istri seakan-akan melihat sang ahli ibadah tersebut turun gunung untuk menshalati jenazah suaminya tersebut, yang dicap sebagai orang jahat dan tidak ada yang mau mensholatinya, serta mengantar jenazahnya ke tempat pemakaman.

Sang ahli ibadah yang akhirnya turun gunung, dan berniat untuk menshalati jenazah orang jahat tersebut didengar oleh para penduduk yang sebelumnya tidak mau menshalati jenazah tersebut. Sehingga, kabar tentang turunnya sang ahli ibadah yang berniat untuk mensholati jenazah orang jahat tersebut, didengar oleh para penduduk. Banyaknya para penduduk yang mendengar kabar tersebut, kemudian ikut untuk menshalati jenazah orang jahat itu.

Para penduduk yang selesai menshalati jenazah tersebut merasa heran, dan mempertanyakan apa yang menjadi sebab sang ahli ibadah mau turun gunung untuk menshalati jenazah itu.

Sang ahli ibadah menjawab pertanyaan para penduduk tersebut, bahwasanya, “Aku mendengar dalam mimpiku; turunlah ke si fulan, karena tidak seorangpun yang mau menshalatinya. Maka shalatkanlah, sebab ia telah diampuni oleh Allah SWT”.

Jawaban yang keluar dari mulut sang ahli ibadah semakin membuat para penduduk penasaran, amalan apakah yang telah dilakukan oleh almarhum yang merupakan seseorang yang jahat dalam hidupnya, sehingga semua dosa-dosanya diampuni oleh Allah SWT. 

Kemudian sang ahli ibadah tersebut, memanggil istri almarhum dan menanyakan perilaku suaminya semasa hidupnya. Sang istri yang ditanya oleh sang ahli ibadah, menjawab, “Sebagaimana orang-orang ketahui, bahwa almarhum suami saya sehari-harinya hanya berbuat dosa dan selalu mabuk-mabukan”.

Mendengar jawaban tersebut, sang ahli ibadah meyakinkan Istri almarhum untuk mengingat lebih dalam lagi tentang perbuatan almarhum. “Cobalah anda teliti kembali, apakah ada amalan kebaikan yang pernah dilakukannya semasa hidup?”

Istri almarhum kemudian ingat dan menjawab, “Oh ya, saya ingat. Ada tiga amalan kebaikan yang selalu dilakukan oleh almarhum suami saya di masa hidupnya. Pertama, ketika dia sadar dari mabuknya di waktu subuh, dia segera mengganti pakaiannya. Kemudian berwudhu, dan ikut sholat berjama’ah subuh. Kedua, di rumah kami tidak pernah sepi dari satu atau dua anak yatim, dan kebaikan almarhum suami saya terhadap anak yatim melebihi kebaikannya terhadap anaknya sendiri. Ketiga, suatu ketika almarhum pernah sadar dari mabuknya di tengah malam, dia menangis dan berkata; ‘Ya Tuhanku, letak neraka jahannam manakah  yang engkau kehendaki untuk meletakkan orang terkutuk sepertiku ini?"

Ketulusan dalam melakukan hal-hal yang kadang dianggap sepele oleh sebagian orang seperti menyantuni anak yatim dan merawatnya, justru malah menjadi pintu ampunan dari Allah SWT bagi para hamba-Nya. Karena Allah SWT tidak memandang seberapa banyak kita beramal, tetapi seberapa istiqomah dan tulusnya kita beramal untuk sesama dan seberapa tulus kita beriman kepada-Nya. (Nur Hasan)
 
Sumber : NU Online
Share:

RUU Pesantren, Upaya untuk Memperkuat Kelembagaan Pesantren

Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia (Baleg DPR) RI mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pesantren dan Pendidikan Keagamaan sebagai RUU inisiatif DPR pada Kamis (13/9) lalu. Dalam waktu dekat, RUU tersebut akan dibawa ke sidang paripurna untuk dimintakan persetujuan.

Disahkannya RUU Pesantren tersebut mendapat sambutan hangat dari insan pesantren. Mulai dari santri, praktisi, hingga kiai pengasuh pesantren. Secara umum, mereka mengapresiasi pengesahan RUU Pesantren tersebut. Ketua Asosiasi Pesantren Nahdlatul Ulama, KH Abdul Ghaffar Rozin misalnya. Ia menilai, RUU tersebut merupakan pengakuan dari berbagai kalangan, terutama pemerintah dan parlemen, terhadap eksistensi pondok pesantren yang notabennya menjadi lembaga pendidikan tertua di Indonesia. 

Tidak hanya itu, RUU Pesantren ini juga dinilai sebagai bentuk keberpihakan pemerintah terhadap pesantren. Disadari atau tidak tidak, ada ketimpangan atau ketidakadilan di dunia pendidikan di Indonesia. Selama ini pemerintah dinilai kurang begitu memberikan perhatian terhadap lembaga pendidikan madrasah dan pesantren, terutama dalam hal finansial dan pemberdayaan yang bersifat kelembagaan.

Untuk melihat lebih jauh tentang urgensi RUU Pesantren, Jurnalis NU Online A Muchlishon Rochmat berhasil mewawancarai Founder Pusat Studi Pesantren Achmad Ubaidillah pada Kamis, (20/9). Berikut petikan wawancaranya:

Bagaimana respons Anda terhadap disahkannya RUU Pesantren?

Saya menyambut baik adanya Rancangan Undang-Undang Madrasah dan Pesantren yang belum lama ini disahkan oleh Badan Legislasi sebagai RUU inisiatif DPR RI. Artinya, ini membuktikan bahwa DPR sebagai institusi negara yang memiliki hak legislasi terbukti memiliki keberpihakan terhadap madrasah dan pesantren. 

Tapi, ini kan baru disahkan sebagai RUU inisiatif, belum disahkan sebagai UU yang sah.

Iya, perjuangan ini belum selesai karena menunggu persetujuan dari rapat paripurna. Itu mekanisme yang ada di lembaga DPR. 

Menurut Anda, apakah RUU ini merupakan sesuatu yang ditunggu-tunggu oleh pihak pesantren sebagai sebuah lembaga tertua di Indonesia namun selama ini kurang diperhatikan?

Saya kira ini memang produk hukum yang ditunggu oleh masyarakat, khususnya kalangan pesantren. Karena bagaimanapun, tidak bisa dimungkiri peran dan posisi strategis pesantren di dalam konteks pendidikan nasional. Madrasah dan pesantren secara eksistensi telah berdiri jauh sebelum Indonesia merdeka. Artinya, madrasah dan pesantren memiliki kontribusi yang jelas dalam bidang pendidikan masyarakat Indonesia. 

Selain sebagai bentuk keberpihakan, jika RUU Pesantren disahkan menjadi UU maka akan menjadi payung hukum yang bisa menaungi segala bentuk inisiatif atau usulan. Selama ini, pesantren lebih banyak dibiayai oleh kiai pendiri atau pengelola meski negara juga memiliki peran yang tidak bisa diabadikan dalam keberlangsungan eksistensi madrasah dan pesantren.   

Jadi secara konkrit, misalnya apa dampak RUU ini terhadap madrasah dan pesantren?

Dengan adanya UU Pesantren, saya kira ini akan menjadi tegas bahwa program pemerintah dalam beberapa tahun ke belakang, yakni anggaran pendidikan 20 persen dari APBN. APBN kita tahun 2018 mencapai 2.220 triliun. Artinya, total anggaran yang diplot untuk anggaran pendidikan itu sekitar 440 triliun. 

Ini menjadi catatan penting agar program madrasah dan pesantren bisa diperhatikan di dalam postur APBN tersebut. Artinya, ada penyerapan atau penganggaran untuk kegiatan-kegiatan di madrasah dan pesantren. 

Bagaimana saran Anda terkait RUU Pesantren tersebut?

Pesantren harus mulai dilibatkan di dalam banyak aktivitas lintas sektoral. Dalam dunia pesantren, kita mengkaji banyak hal yang bisa dieksplorasi untuk kepentingan nasional. Misalnya isu lingkungan. Pesantren berbicara banyak tentang fiqih lingkungan. Pesantren juga berbicara soal fiqih sosial, pesantren juga memiliki kajian-kajian terkait isu pemberdayaan perempuan, dan lainnya.

Pesantren dan madrasah tidak semestinya hanya dilihat dalam konteks lembaga pendidikan dan pengajaran, tapi juga dalam konteks kajian-kajian. Oleh itu, saran yang ingin saya sampaikan bahwa ini terkait dengan aktivitas riset. Banyak negara yang menganggap riset sebagai aktivitas penting dalam skema pembangunan nasional. Ini mungkin bukan saran yang mainstream, tapi saya melihat riset merupakan aktivitas yang sangat penting dan kontributif.

Untuk menyambut RUU Pesantren tersebut, apa yang seharusnya dipersiapkan?

Ada lembaga-lembaga tersendiri di kita, baik di pesantren atau pun di PBNU, untuk kembali mendata ulang jumlah pesantren yang riil di seluruh Indonesia, termasuk juga jumlah santri dengan data terbaru. 

Jika RUU tersebut disahkan menjadi UU dan ada klausul yang menyebutkan tentang keberpihakan negara terhadap pesantren dalam konteks program bantuan, maka prioritas yang dimunculkan adalah program bantuan infrastruktur untuk madrasah dan pesantren. Terutama madrasah dan pesantren yang memiliki sarana dan infrastruktur yang kurang layak. 

Harus ada penjelasan lebih lanjut tentang upaya mengklasifikasi pesantren mana yang betul-betul perlu dibantu negara. Fakta di lapangan, banyak pesantren yang sudah berdaya dan memiliki infrastruktur yang baik. Saya kira, infrastruktur yang baik dan memadahi merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas belajar mengajar di pesantren. Namun kalau berbicara sejarah hal itu berbeda. Dimana banyak pesantren salaf yang infrastrukturnya biasa-biasa saja, tapi tidak mempengaruhi kualitas para santri yang dihasilkannya. Tapi saya kira, hari ini berbeda dan kebutuhan zaman juga berbeda.

Kalau seandainya RUU itu disahkan, ada kekhawatiran tidak kalau negara ikut 'cawe-cawe' dalam penyelenggaraan pesantren. Dan membuat pesantren tidak 'independen' lagi misalnya?

Saya kira kita tetap bersangka baik bahwa RUU ini justru akan memperkuat institusi dan kelembagaan madrasah dan pesantren meskipun sejak berabad-abad lalu pesantren sudah membuktikan kemandiriannya.

Apa harapan Anda terhadap RUU Pesantren tersebut?

 
Sebagai warga negara Indonesia dan orang yang lahir di lingkungan pesantren berharap, seluruh fraksi-fraksi di DPR RI mempertimbangkan RUU ini dengan matang. Mudah-mudahan RUU ini benar-benar disahkan di rapat paripurna menjadi UU, tidak hanya ditetapkan di badan legislasi sebagai RUU inisiatif DPR saja.  

Kalau seandainya RUU Pesantren ini betul-betul disahkan menjadi UU, apa yang selanjutnya mesti dilakukan?

Setelah RUU ini disahkan DPR RI menjadi UU, saya berharap DPR daerah, baik tingkat provinsi atau kabupaten kota, bisa menindaklanjutinya. Mereka bisa melahirkan rancangan peraturan daerah yang berpihak pada madrasah dan pesantren. Ini bukan sesuatu yang tidak mungkin karena banyak Perda yang lahir itu mengadopsi atau mengadaptasi UU yang ada di tingkat nasional. 

Mudah-mudahan ini akan menjadi sebuah gerakan yang masif supaya aktivitas madrasah dan pesantren direncanakan di dalam postur APBD di provinsi maupun di kabupaten kota. Jadi peraturannya tidak hanya dalam bentuk UU, tapi juga dalam bentuk peraturan daerah.

Saat ini sudah ada UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Apakah nantinya RUU Pesantren tersebut tidak berbenturan dengan UU pendidikan yang sudah ada?

Adanya UU Madrasah dan Pesantren ini akan memperkuat UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Di UU itu tidak disebutkan secara detail bagaimana keberpihakan negara terhadap pesantren dan pendidikan pesantren tidak menjadi isu utama. Menurut saya, lahirnya UU ini tidak akan berbenturan dengan UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 tersebut. Justru UU ini nanti akan memperkuat dan mempertajam keinginan atau good will negara terhadap madrasah dan pesantren.
Sumber : NU Online
Share:

Rabu, 13 Maret 2019

Jangan Mudah Memberi Label “Kafir” Kepada Orang Lain

Oleh :  Afrizal El Adzim Syahputra, Lc., MA
(Pengurus PC GP Ansor Trenggalek)
Tak terasa perkembangan teknologi sangat masif dari waktu ke waktu. Dunia yang fana ini dengan cepatnya dipenuhi oleh berbagai media, mulai dari facebook, twitter, instagram dan sebagainya. Dengan berbagai media tersebut, manusia semakin mudah untuk memperoleh informasi dari berbagai belahan dunia. Namun, ironisnya tidak sedikit yang memakai media tersebut sebagai ajang untuk saling menghujat.  Kata “kafir” terlontar dengan sangat mudah. Banjir kata “kafir” tak terbendung, memenuhi berbagai media masa. Begitu gampangnya kata tersebut dituliskan di media yang ditujukan kepada orang yang tidak sepaham atau sealiran dengannya. Mereka yang berbuat demikian seolah olah tidak sadar dan tidak takut terhadap ancaman Rasulullah SAW yang artinya : “Barangsiapa memanggil dengan sebutan kafir atau musuh Allah padahal yang bersangkutan tidak demikian, maka tuduhan itu akan kembali kepada penuduh" (HR. Bukhari-Muslim)

Para ulama’ sangat berhati hati untuk menjatuhkan vonis “kafir” kepada seseorang, karena jika terbukti bahwa orang tersebut bukan termasuk orang kafir, maka vonis “kafir” itu akan kembali kepadanya. Oleh karena itu, tidak diperkenankan bagi siapapun untuk menjatuhkan vonis kafir berdasarkan prasangka dan dugaan tanpa kehati hatian, kepastian dan informasi yang akurat. Tidak diperbolehkan juga menjatuhkan vonis “kafir” terhadap seseorang yang melakukan maksiat, selama orang tersebut dalam keadaan iman, memegang teguh dua syahadat. Dalam sebuah penggalan hadis yang diriwayatkan dari Anas RA, Rasulullah SAW bersabda yang artinya : “Ada tiga hal yang merupakan pokok iman : menahan diri dari orang yang menyatakan “Tiada Tuhan Selain Allah”, tidak memvonis kafir seseorang akibat dosa yang dia lakukan, tidak mengeluarkannya dari agama Islam akibat perbuatan dosanya” ( HR. Abu Dawud ).

Hadis diatas memberikan penjelasan bahwa dosa dan kemaksiatan yang dilakukan seseorang bukan merupakan barometer untuk menjustifikasi bahwa orang tersebut “kafir”. Selama ada iman dalam hati seseorang, ia akan mendapatkan balasan surga meski harus mencicipi neraka terlebih dahulu karena noda maksiat yang menempel dalam dirinya. Imam Harawi, salah satu ulama’ bermadzhab Hanafi menukil pendapat dari para ulama’ bahwa mereka berkata : jika terdapat 99 hal yg menguatkan kekafiran seorang Muslim, tetapi masih ada satu alasan yang menetapkan keislamannya, maka sebaiknya Mufti dan Hakim beramal dengan satu alasan tersebut, dan ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW: “Hindarkanlah hukuman-hukuman pidana dari kaum Muslimin semampu kalian, jika kalian mendapatkan jalan keluar bagi seorang Muslim, maka pilihlah jalan itu. Karena sesungguhnya seorang pemimpin yang salah dalam memberi maaf itu lebih baik dari pada pemimpin yang salah dalam menghukum.

Secara bahasa, kata Kafir berasal dari kata “kufr” yang berarti menutup atau menyembunyikan sesuatu. Sebagian sya’ir arab menggunakan kata kafir untuk mengungkapkan gelapnya malam yang menyelimuti segala sesuatu. Dalam istilah syari’at, kata “kufr” bermakna orang yang mengingkari prinsip prinsip ajaran agama Islam yang harus diketahui umat Islam tanpa pandang bulu, seperti masalah keesaan Allah SWT, kenabian, diakhirinya kerasulan dengan Nabi Muhammad SAW, kebangkitan hari akhir, hisab ( perhitungan amal ), balasan, sorga, neraka. Maka, orang yang mengingkari prinsip prinsip ajaran agama sebagaimana yang disebutkan diatas dinamakan “Kafir”, kecuali bagi orang yang baru masuk Islam, maka ia diberi toleransi untuk mempelajari beberapa prinsip agama tersebut. Namun, kata “Kafir” juga berarti orang yang menutup nikmat Allah SWT ( tidak bersyukur atas nikmat Allah SWT ). Oleh karena itu, pengertian “kafir” tidak hanya dalam konteks keyakinan semata. Jika kata tersebut dipadankan dengan nikmat misalnya, maka pengertiannya adalah lawan dari orang-orang yang bersyukur yakni orang-orang yang kufur. Dalam hal ini Allah SWT menegaskan di dalam al-Qur’an yang artinya :“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu kufur (mengingkari nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (QS. Ibrahim : 07).

Khtaib As Syarbini, salah satu ulama’ mesir yang terkemuka, membagi kafir menjadi empat bagian : kafir ingkar, kafir juhud, kafir ‘inad dan kafir nifaq.Kafir ingkar adalah sebutan bagi orang yang tidak mengenal Allah SWT dan tidak mengakui-Nya sebagai Tuhan. Kafir juhud adalah sebutan bagi orang yang mengakui Allah SWT dalam hatinya, namun tidak mengakui-Nya secara lisan, seperti : Iblis dan orang Yahudi. Kafir ‘inad adalah orang yang mengakui Allah SWT dengan hati dan lisannya, namun ia tidak mau beragama Islam, seperti : Abu Thalib ( salah satu paman Rasulullah SAW ). Dan yang terakhir adalah kafir nifaq, yaitu sebutan bagi orang yang mengakui Allah SWT secara lisan, namun tidak meyakini-Nya dalam hati.

Orang orang yang memanggul paham radikal kerapkali begiu mudah melontarkan kata kata bid’ah, syirik dan kafir terhadap kelompok lain yang dipandang tidak sepemikiran dengan mereka Sebenarnya kelompok yang senang mengkafirkan golongan lain ( jama’ah takfiri ) sudah lahir sejak dulu kala. Yang awal awal bisa kita contohkan adalah munculnya kelompok Khawarij. Kelompok - kelompok semacam ini terus bermunculan dalam sejarah umat Islam. Muhammad bin Abdul Wahab, pendiri gerakan wahabi menganggap kafir semua orang yang tidak masuk menjadi pengikutnya, sekalipun mereka itu dari golongan ulama’ yang sangat tinggi tingkat ketakwaaanya. Di Arab Saudi, seorang ulama’ dengan tandasnya mengkafirkan ulama’ lain hanya karena ulama’ yang dikafirkan itu membolehkan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Di negeri kita pun nyaris panen pengkafiran, lewat ungkapan bid’ah, syirik dan kafir yang gampang sekali terlontar untuk menyebut amalan amalan yang dinilai tidak sefaham dengannya.

Golongan – golongan inilah yang dapat memperkeruh keharmonisan hubungan antar umat Islam. Orang – orang yang dituduh kafir oleh jama’ah takfiri meresa tidak nyaman. Telinga mereka selalu terganggu dengan ocehan - ocehan “kafir”. Apapun bentuk amaliyah yang mereka kerjakan selalu mendapat kecaman dari jama’ah takfiri. Sedangkan mereka tidak akan setuju jika amaliyah yang sudah menjadi rutinitas tahunan dianggap melenceng dari ajaran Islam oleh jama’ah takfiri. Pada akhirnya, timbullah kebencian dari kedua belah pihak yang dapat merusak persatuan umat Islam.

Rasulullah SAW selalu memerintahkan umatnya untuk berkata baik kepada orang lain, baik muslim maupun non muslim.
Di balik ucapan mengkafirkan orang lain itu sebenarnya tersembunyi perasaan bahwa “saya lebih baik dari dia; saya lebih islami, lebih suci, dan lebih benar serta akan masuk surga ketimbang dia”. Persoalannya darimana kita tahu bahwa amalan ibadah kita "yang banyak sekali itu" pasti diterima Allah dan dosa mereka "yang begitu banyak itu" tidak akan Allah ampuni? Kita tidak tahu nasib kita kelak, lalu bagaimana kita bisa begitu yakin dengan nasib orang lain. Ini merupakan hak prerogatif Allah. Jangan sampai kita justru jatuh pada kesyirikan karena merasa dan bertindak seperti Allah yang menentukan keimanan orang lain. Semoga Allah mengampuni kita semua. ( Wallahu A’lam )
Share:
Mengabdi Tanpa Batas, Berjuang Tanpa Lelah - Jiwa Ansor Menjaga Marwah Nahdlatul Ulama


Pengabdian adalah jalan panjang tanpa pamrih, di mana langkah kaki bukan semata-mata demi pujian, melainkan demi tegaknya nilai kebaikan dan terjaganya warisan perjuangan.


Di Gerakan Pemuda Ansor, setiap Keringat adalah Saksi, setiap Lelah adalah Amal, dan setiap Ikhtiar adalah Bukti Cinta kepada Agama, Bangsa, dan Tanah Air.


Jangan hitung apa yang telah diberikan, tapi hitunglah berapa banyak yang masih bisa diperjuangkan. Karena di medan dakwah dan pengabdian, hanya mereka yang berhati ikhlas dan berjiwa baja yang mampu bertahan.

Teruslah menyalakan Obor Semangat, sebab Ansor bukan hanya Nama, tapi Jiwa yang menanamkan Nilai 'Hubbul Wathan Minal Iman' dalam setiap Denyut Kehidupan

Terjemahkan

Sekolah Administrasi

Trenggalek, 5 Juli 2025 — Pimpinan Cabang Gerakan Pemuda Ansor (PC GP. Ansor) Trenggalek menggelar kegiatan Sekolah Administrasi dan Upgrad...

Selamat Datang Sahabat

Arsip Blog

Sahabat Kita