Habib Anis: Pesantren Ikut Arus atau Menciptakan Arus?
http://www.ansortrenggalek.or.id/2019/03/habib-anis-pesantren-ikut-arus-atau.html
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia.
Hingga hari ini terus bertahan dan bahkan berkembang. Jumlah lembaganya
mencapai puluhan ribu yang tersebar di seluruh Indonesia. Sementara
jumlah santrinya, menurut data Kemenag RI tahun 2017, ada sekitar 7 juta
orang.
Pada masa lalu, pesantren merupakan
sebuah lembaga yang dekat dengan kalangan kerajaan Islam. Ronggo
Warsito, misalnya pernah nyantri kepada Kiai Kasan Besari. Bahkan
Pangeran Diponegoro juga merupakan seorang santri. Sehingga, pesantren
merupakan lembaga yang digunakan keraton untuk transformasi pengetahuan,
bahkan revolusi kebudayaan. Pesantren melahirkan manusia-manusia
terpilih yang merdeka dan ahli.
Lalu, bagaimana ceritanya pesantren bisa seperti itu, dan bagaimana dengan pesantren hari ini? Abdullah Alawi dari NU Online berhasil mewawancarai Habib Anis Sholeh Ba'asyin di Gedung PBNU, Jakarta, Kamis (6/12) malam. Berikut petikannya:
Bagaimana hubungan pesantren dengan keraton atau kerajaan Islam di masa lalu?
Itu
pesantren-pesantren letaknya di kota-kota. Lewat pesantren dan kerajaan
pengetahuan disebarkan. Kaum intelektual (pesantren) dan bangsawan
(keraton) memiliki hubungan erat. Perubahan-perubahan kebudayaan atau
revolusi kebudayaan melalui pesantren dan kerajaan.
Lalu, pesantren terpinggirkan itu mulai kapan?
Diponegoro.
Jadi, ketika perang Diponegoro, ada kooptasi dari asing (penjajah
Belanda, red.) kepada kerajaan. Sikap pesantren yang (menentang) tasyabuh (menyerupai
kalangan yang yang telah dipengaruhi asing) itu, maka mereka menarik
diri. Itu juga menjadi awal jarak antara Islam santri dengan apa yang
kemudian dikembangkan sebagai Kejawan. Jadi, mereka (pesantren) menarik
diri dari pusat-pusat kerajaan ke desa-desa, dan mereka menolak ekspresi
budaya yang sudah diklaim milik keraton seperti wayang.
Tanda perpisahan itu apa?
Mulai
itu pesantren menolak tradisi yang disebut Jawa itu. Itu yang kemudian
secara sosiologis terjadi, itu dimanfaatkan Belanda untuk membelah
sekalian.
Generasi-generasi pesantren berikutnya, merasa semakin tidak berhubungan dengan generasi keraton. Begitu juga sebaliknya?
Ya,
mereka menarik diri, dan sampai pada tahun 60-an 70-an, bahkan sampai
sekarang banyak pesantren yang menolak wayangan, karena dianggap itu
ekspresi budaya Jawa dan budaya Jawa itu sama dengan keraton, dan
keraton itu sama dengan budaya yang sudah dikooptasi oleh orang kafir.
Padahal mereka lupa, asal-usul wayang itu malah dari (Sunan) Giri. Jadi,
wayang yang ada sekarang, yang kita kenal sebagai Sunan Kalijaga,
ternyata mazhabnya dari Sunan Giri.
Apa wayang itu dari luar?
Enggak,
Anda harus bedakan, wayang di Jawa, itu sudah kemampuan kreatif orang
di Jawa. Jadi, ada (semacam wayang) di China, ada di Vietnam, tapi di
Jawa sudah berbeda jauh. Jadi, kemampuan kreatif orang di Jawa itu
menyerap yang dari luar, mengolahnya menjadi sesuatu yang baru. Itu dari
China, ya bukan.
Alat musiknya (gamelan) ada
di China, ada di Vietnam, tapi di Jawa menjadi orkestra paling lengkap
kayak pentas orkestra di Eropa, di Jawa sudah lebih dahulu.
Kemampuan seperti itu faktor apa?
Jawa
(Nusantara) kan kepulauan, banyak pengaruh masuk. Artinya dia harus
banyak mengelola apa puan yang datang menjadi sesuatu yang baru
sehingga dia tidak kehilangan dirinya.
Kemampuan itu masih berlangsung sampai sekarang tidak?
Sekarang
dibunuh karena kemampuannya ditekan. Dulu kan berdaulat. Banyak orang
yang datang, supaya saya tidak kehilangan jatidiri, saya olah menjadi
diri saya sendiri. Kemampuan mengolah menjadi sesuatu yang baru dari
segenap yang datang itu karena berdaulat. Sekarang itu kan hilang. Mindset dasarnya kan hilang.
Pengaruh penjajahan?
Ya, kolonial akhir sebenarnya dan modernitas yang kebablasan ini.
Kemudian Indonesia menjadi terkesan membebek kepada budaya lain, semisal Eropa dan Timur Tengah?
Iya.
Bayangkan di sini, orang dulu itu kemampuan spiritual yang sangat
membanggakan, manusia yang dianggap agung, dan itu hilang. Padahal
nanti, kalau kita ikuti jalan peradaban kemampuan manusia itu hanya
tinggal dua, kerohanian, dan kreativitas, yang lainnya bisa diganti
mesin. Harusnya kalau kita menyadari ulang, harusnya kita sejak awal
disiapkan untuk mengarah ke sana.
Apakah pendidikan model sekarang membunuh dua hal itu?
Sangat.
Sangat. Pendidikan membunuh kreativitas dua hal itu. Bagaimana dulu
pendidikan itu menciptakan manusia tangguh berdaulat. Teorinya begini,
DNA orang ada on off itu, orang itu punya kemampuan dasar yang dibunuh
karena mindset dibunuh. Kalau dalam teori DNA, orang bisa meloncat sampai 5-6 meter tanpa sadar. Jadi, itu kalau bahasa DNA, DNA-nya on (hidup, aktif). Sekarang siapa yang meng-off-kan? Yang meng-off-kan
itu adalah ketakutan-ketakutan yang diciptakan. Jadi, pendidikan yang
sebenarnya adalah bagaimana menghidupkan itu semua, tidak terhalangi
oleh apa pun. Itu manusia berdaulat. Jadi, meng-on-kan DNA semuanya. Selama ini, sistem pendidikan meng-off-kannya
supaya orang bisa dikuasai mesin. Jadi perangkat dalam sistem
besar. Tujuannya pertama dari awal pendidikan di kita ini adalah untuk
mengisi lapangan pekerja, pegawai.
Itu
yang sangat kecewa, pesantren ikut-ikutan. Padahal dulu pesantren itu
membentuk orang menjadi berdaulat. Saya kan protes di banyak tempat.
Kalau kita mau bongkar sejarah, kenapa kok Indonesia memilih sistem
sekolah, padahal secara teoritik, infrastrukturnya belum ada. Yang sudah
ada secara nasional adalah pesantren. Kenapa tidak diadopsi? Artinya
sudah ada pertarungan sejak awal. Di seluruh Indonesia sudah ada
pesantren.
Kondisinya pesantren sudah banyak mengadopsi pendidikan umum. Lalu bagaimana caranya supaya bisa tetap meng-on-kan DNA-nya?
Saya
punya contoh di Kajen, Mbah Dullah Salam itu menolak sistem sekolah,
dia mandiri. Artinya kalau jadi persoalan, bagaimana menghidupkan yang
mandiri ini supaya lebih dinamik. Tantangan di dalam. Tapi dia sudah
menolak semua kurikulum pemerintah, di luar dirinya, dan menolak itu
semua. Dan masih bisa hidup. Minimal sampai tahun 2000, sampai 2000
sekian, bahkan sampai sekarang.
Pesantren
juga terkait dengan pikiran orang tua santri yang memikirkan
anak-anaknya agar setelah di pesantren itu tidak menganggur.
Bukan sekadar itu, dulu orang jadi kiai itu karena ada santri datang sehingga dulu ada istilah gotakan,
gubuk yang dibangun oleh orang tua santri untuk berguru. Si kiainya
tidak butuh. Sekarang ada keterbalikan, mendirikan itu butuh murid,
sistem pasar; yang dibutuhkan pasar, apa yang disiapkan itu.
Pesantren kalau tidak mengadopsi sekolahan biasanya tidak laku?
Itu ketakutan dari maindset
yang diciptakan. Siapa yang membuktikan itu kalau tidak pernah dicoba?
Saya punya beberapa bukti, termasuk yang Kajen itu. Bisa kok. Banyak
santrinya dan terkenal. Jadi kan tergantung kedaulatan orangnya kan,
kiainya. Ikut arus atau menciptakan arus.
Bisa tidak pesantren bersiasat dengan mengadopsi sekolahan, pada saat yang sama menciptakan manusia berdaulat?
Sebenarnya
masih ada. Tapi dengan kurikulum yang ikut pemerintah sudah enggak
merdeka sebenarnya. Artinya kan kiai seharusnya punya kewaskitaan kan; untuk apa yang dibutuhkan masyarakat dan diajarkan. Dan kewaskitaan itu bukan hanya untuk saat ini, tapi untuk ke depan.
Meskipun tanpa harus formal ikut pemerintah?
Iya, itu yang hilang sekarang.
Bagaimana juga pesantren di era digital sekarang ini?
Itu
juga tantangan artinya. Sekarang lebih banyak kepungan pengetahuan ya.
Harusnya ada nilai tambah dari pesantren itu yang tidak akan didapat
ketika orang masuk ke internet dan lain sebagainya. Artinya begini,
soal pengetahuan, itu kan kuantitas, itu bisa diambil di mana saja.
Kualitas yang sulit dicari. Pesantren seharusnya menciptakan generasi
mandiri, berdaulat sehingga nanti ketika dia masuk ke level mana pun,
dapat informasi dari mana pun, dia tetap tidak kehilangan
kemandiriannya, tidak bisa dikooptasi oleh pengetahuan mana pun.
Saya
ingat kisahnya Imam Ghazali dan Syekh Abdul Qadir Jailani yang mendidik
orang-orang ketika menghadapi pemerintahan yang kocar-kacir waktu itu,
sistem pendidikan, dan itu melahirkan Salahudin Al-Ayubi, orang- orang
yang lebih bersih mengelola pemerintahan. Mereka sudah visioner itu.
Jadi kalau Al-Hallaj mau menciptakan, tapi gagal, dia gerakan langsung,
untuk menciptakan pemerintahan bersih, seperti gerakan politik, tapi
dilibas kan, tapi kalau seperti Imam Ghazali mendidik orang yang sekian
waktu.
Sumber : NU Online