Diskusi tersebut menggarisbawahi urgensi transformasi dakwah ke ranah digital sebagai bentuk adaptasi terhadap perubahan zaman, sekaligus sebagai strategi menjangkau generasi muda yang kini hidup dalam ekosistem media sosial dan informasi digital yang sangat cepat.
Sahabat Abid menegaskan bahwa media bukan hanya sarana informasi, tetapi juga menjadi medan dakwah yang sangat potensial jika dikelola dengan tepat.
“Kalau dulu mimbar utama dakwah adalah podium, sekarang sudah bergeser ke layar ponsel. Maka, siapa yang menguasai narasi di dunia digital, dia yang memengaruhi arah kesadaran umat,” ujar Abid.
Sementara itu, Ketua BSA Trenggalek, Sahabat Murdiyanto, menekankan bahwa dakwah harus mampu menyentuh ruang-ruang virtual yang saat ini menjadi pusat perhatian masyarakat, terutama kalangan muda. Menurutnya, kehadiran NU dan Banomnya di dunia digital harus lebih masif dan strategis.
“Jangan sampai ruang digital kosong dari nilai-nilai ahlussunnah wal jama’ah. Kita punya tanggung jawab menjaga narasi, menyebarkan nilai-nilai moderat, dan merawat tradisi keislaman yang ramah melalui media,” tutur Murdiyanto.
Obrolan ringan ini sekaligus menjadi refleksi bahwa dakwah tidak cukup hanya mengandalkan cara-cara konvensional. Perlu strategi baru, termasuk penguatan kapasitas kader di bidang media, produksi konten kreatif, hingga literasi digital. Keduanya sepakat bahwa sinergi antar lembaga, termasuk media resmi NU seperti Soeara NU dan tim BSA, perlu diperkuat untuk melahirkan gerakan dakwah yang adaptif dan kontekstual.
Diskusi tersebut menambah warna dalam pelaksanaan Muskercab yang tak hanya fokus pada aspek struktural dan program kerja, tetapi juga membuka ruang-ruang pemikiran dan gagasan strategis untuk menjawab tantangan dakwah masa kini.
Oleh : Tim Media BSA Trenggalek
.