Pimpinan Cabang Gerakan Pemuda Ansor Trenggalek

Selamat Datang di Blog Pimpinan Cabang Gerakan Pemuda Ansor Kabupaten Trenggalek

Kamis, 10 Juli 2025

Antara Idealisme dan Kesempatan: Mungkinkah Kita Hanya Belum Kebagian


Kerap kali kita mendengar ungkapan atau bahkan meyakini diri sendiri sebagai sosok idealis - orang yang teguh memegang prinsip, cita-cita, dan nilai-nilai luhur yang diyakini benar. Idealisme sering dipersepsikan sebagai benteng terakhir yang membedakan mereka yang ‘berjuang demi nilai’ dengan mereka yang ‘terjerumus dalam pragmatisme’. Namun, pertanyaannya: benarkah kita sungguh-sungguh idealis? Ataukah jangan-jangan kita hanya belum kebagian saja?

Frasa “belum kebagian” di sini merujuk pada kesempatan, kekuasaan, atau bahkan godaan yang memungkinkan seseorang memperdagangkan idealismenya. Banyak contoh di sekitar kita, ketika seseorang yang dulu lantang bersuara tentang keadilan, integritas, dan kebenaran—begitu mendapat posisi atau keuntungan tertentu—perlahan mulai berubah sikap. Seolah-olah idealisme hanya hadir ketika kita tidak memiliki apa-apa untuk dipertahankan.

Inilah jebakan psikologis yang sering tidak disadari: idealisme tanpa ujian nyata hanyalah teori kosong. Orang cenderung merasa “bersih” ketika tidak berada dalam posisi yang memungkinkannya untuk “kotor”. Bahkan dalam studi psikologi sosial, terdapat teori “power corrupts” yang menunjukkan bahwa kekuasaan memiliki kecenderungan untuk mengikis moralitas.

Apakah artinya semua orang bisa tergelincir? Tidak sepenuhnya demikian. Ada individu yang memang mampu menjaga idealisme di tengah badai godaan, tetapi mereka adalah pengecualian yang perlu diperjuangkan, bukan sekadar diasumsikan. Maka, sebelum mengklaim diri sebagai idealis, mungkin lebih bijak jika kita jujur dan bertanya dalam hati: Apakah saya masih akan setia pada nilai-nilai saya jika kesempatan, kekuasaan, dan keuntungan datang menghampiri?

Dengan refleksi ini, kita diingatkan bahwa menjadi idealis bukan hanya soal apa yang kita katakan, tetapi lebih penting lagi adalah apa yang tetap kita lakukan ketika kesempatan kompromi itu datang.


Referensi:

  1. Robert Greene, The 48 Laws of Power, 1998.

  2. George Orwell, Animal Farm, 1945.

  3. Fiske, S. T., & Taylor, S. E. (1991). Social Cognition. McGraw-Hill.

  4. Max Weber, Politics as a Vocation, 1919.



Kontributor : Murdiyanto (Wakil Ketua PC GP. Ansor Trenggalek)
Editor : Tim Media BSA Trenggalek
.
Share:
Mengabdi Tanpa Batas, Berjuang Tanpa Lelah - Jiwa Ansor Menjaga Marwah Nahdlatul Ulama


Pengabdian adalah jalan panjang tanpa pamrih, di mana langkah kaki bukan semata-mata demi pujian, melainkan demi tegaknya nilai kebaikan dan terjaganya warisan perjuangan.


Di Gerakan Pemuda Ansor, setiap Keringat adalah Saksi, setiap Lelah adalah Amal, dan setiap Ikhtiar adalah Bukti Cinta kepada Agama, Bangsa, dan Tanah Air.


Jangan hitung apa yang telah diberikan, tapi hitunglah berapa banyak yang masih bisa diperjuangkan. Karena di medan dakwah dan pengabdian, hanya mereka yang berhati ikhlas dan berjiwa baja yang mampu bertahan.

Teruslah menyalakan Obor Semangat, sebab Ansor bukan hanya Nama, tapi Jiwa yang menanamkan Nilai 'Hubbul Wathan Minal Iman' dalam setiap Denyut Kehidupan

Terjemahkan

Sekolah Administrasi

Trenggalek, 5 Juli 2025 — Pimpinan Cabang Gerakan Pemuda Ansor (PC GP. Ansor) Trenggalek menggelar kegiatan Sekolah Administrasi dan Upgrad...

Selamat Datang Sahabat

Arsip Blog

Pengunjung

Sahabat Kita