Frasa “belum kebagian” di sini merujuk pada kesempatan, kekuasaan, atau bahkan godaan yang memungkinkan seseorang memperdagangkan idealismenya. Banyak contoh di sekitar kita, ketika seseorang yang dulu lantang bersuara tentang keadilan, integritas, dan kebenaran—begitu mendapat posisi atau keuntungan tertentu—perlahan mulai berubah sikap. Seolah-olah idealisme hanya hadir ketika kita tidak memiliki apa-apa untuk dipertahankan.
Inilah jebakan psikologis yang sering tidak disadari: idealisme tanpa ujian nyata hanyalah teori kosong. Orang cenderung merasa “bersih” ketika tidak berada dalam posisi yang memungkinkannya untuk “kotor”. Bahkan dalam studi psikologi sosial, terdapat teori “power corrupts” yang menunjukkan bahwa kekuasaan memiliki kecenderungan untuk mengikis moralitas.
Apakah artinya semua orang bisa tergelincir? Tidak sepenuhnya demikian. Ada individu yang memang mampu menjaga idealisme di tengah badai godaan, tetapi mereka adalah pengecualian yang perlu diperjuangkan, bukan sekadar diasumsikan. Maka, sebelum mengklaim diri sebagai idealis, mungkin lebih bijak jika kita jujur dan bertanya dalam hati: Apakah saya masih akan setia pada nilai-nilai saya jika kesempatan, kekuasaan, dan keuntungan datang menghampiri?
Dengan refleksi ini, kita diingatkan bahwa menjadi idealis bukan hanya soal apa yang kita katakan, tetapi lebih penting lagi adalah apa yang tetap kita lakukan ketika kesempatan kompromi itu datang.
Referensi:
-
Robert Greene, The 48 Laws of Power, 1998.
-
George Orwell, Animal Farm, 1945.
-
Fiske, S. T., & Taylor, S. E. (1991). Social Cognition. McGraw-Hill.
-
Max Weber, Politics as a Vocation, 1919.
Kontributor : Murdiyanto (Wakil Ketua PC GP. Ansor Trenggalek)
Editor : Tim Media BSA Trenggalek
.