Pernyataan ini bukan sekadar romantisme sejarah, melainkan cermin realitas yang telah dibuktikan oleh para wali dan kyai dalam membumikan ajaran Islam di tengah keragaman masyarakat Indonesia. Islam berkembang pesat di negeri ini bukan melalui pedang atau tekanan, tetapi melalui kearifan lokal, kesabaran, dan kecintaan terhadap umat. Wali Songo tidak langsung menolak budaya lokal, tapi mengisinya dengan nilai-nilai Islam—ini bukan kompromi aqidah, tetapi strategi dakwah.
Zulkarnaen juga menyoroti fenomena mengkhawatirkan di mana muncul tudingan sembrono, seperti menganggap ulama thariqah tidak memahami fikih. Ini adalah bentuk kegagalan memahami sejarah dan kontribusi besar tarekat dalam membentuk karakter keislaman yang moderat di Indonesia. Tarekat bukanlah aliran tanpa dasar hukum syar’i, justru banyak ulama fiqh besar yang juga merupakan mursyid thariqah. Penghinaan terhadap mereka bukan hanya bentuk pelecehan, tapi juga perusakan terhadap harmoni keislaman Indonesia.
Fenomena dakwah berbasis vonis seperti mengharamkan atau menyesatkan kelompok lain semakin menguat di era digital. Dakwah disederhanakan menjadi konten-konten provokatif yang mengejar viralitas alih-alih mendalamkan makna. Padahal, seperti dikatakan Zulkarnaen, “Islam di Indonesia besar bukan karena kanalisasi fatwa, tetapi karena pendekatan yang tidak melulu vonis haram dan sesat.”
Kita harus sadar bahwa kekuatan Islam Nusantara justru terletak pada pendekatannya yang inklusif, adaptif, dan kontekstual. Islam yang dibawa oleh para ulama kita adalah Islam yang merangkul, bukan memukul. Islam yang mengajak, bukan mengejek. Islam yang membimbing, bukan menghakimi.
Karena itu, warisan dakwah humanis ala Wali Songo dan para ulama Nusantara harus dijaga. Generasi muda harus belajar bahwa keberhasilan dakwah bukan pada seberapa banyak vonis dijatuhkan, tetapi seberapa besar umat tercerahkan dan terayomi. Jangan biarkan semangat dakwah warisan para kyai tergerus oleh semangat penghakiman yang dangkal dan sempit.
Editor : Tim Media BSA Trenggalek