Almarhum dikenal sebagai sosok politisi muda yang sederhana, nyentrik, sekaligus santri sejati. Pria kelahiran Trenggalek, 31 Desember 1979 itu tak pernah melepaskan identitas ke-santri-annya. Penampilannya khas: bersongkok lusuh yang ia sebut “keramat” dan bersarung ke manapun pergi, menjadi ciri kuat yang melekat hingga akhir hayatnya.
“Jika rapat resmi ya tetap pakai safari, nanti dikira saya sableng,” ujarnya suatu kali sambil terkekeh.
Meski duduk di kursi DPRD, ia menolak berpenampilan necis berlebihan. Menurutnya, wakil rakyat harus selalu membumi, tidak menciptakan jarak dengan masyarakat kecil.
“Konstituen saya itu ada yang tani, kuli panggul tanah, tukang becak, bahkan bakul sayuran keliling,” ungkapnya.
Sikap sederhana itu lahir dari pengalaman pribadinya. Ia pernah dihentikan warga seusai rapat dewan, namun urung diajak bicara hanya karena masih memakai pakaian resmi kantor. Peristiwa itu membuatnya bertekad tampil sederhana selepas seremoni: dengan sarung dan songkok peninggalan gurunya, Mbah Muslim Rifa’i Imampuro (Mbah Lim), pengasuh Pondok Pesantren Al Mutaqien Pancasila Sakti Klaten.
Baginya, penutup kepala bukan sekadar pelengkap busana. “Seorang santri yang tidak menggunakan tutup kepala sering diledek, seperti ungkapan ‘rai ketan’,” tuturnya. Filosofinya jelas, songkok adalah pengingat agar pikiran tetap bersih, hati terpaut pada zikir, dan selalu menjaga etika santri.
Songkok lusuh itu ia yakini menyimpan karomah dari gurunya. “Memakai songkok ini adalah kebanggaan, dengan songkok ini saya selalu teringat untuk tawadhu’ dan mengabdi,” tegasnya.
Selain politisi, almarhum juga dikenal sebagai pengusaha perabotan dapur yang sukses. Namun, identitasnya sebagai santri dan murid Mbah Lim lebih menonjol dalam keseharian. Ia kagum pada gurunya yang selalu menegaskan slogan “NKRI Harga Mati”, sebuah prinsip yang juga diwariskan dan dijaga oleh Tarkiyat sepanjang hidupnya.
Kepergian Tarkiyat meninggalkan duka mendalam, khususnya bagi keluarga besar NU, GP Ansor, dan masyarakat Trenggalek yang pernah ia wakili di parlemen. Ia dikenang bukan hanya sebagai politisi, tetapi juga santri yang teguh menjaga warisan nilai dan etika dalam kehidupan berbangsa dan beragama.
Selamat jalan, Tarkiyat. Semoga amal ibadahmu diterima Allah SWT, dan segala pengabdianmu menjadi cahaya penerang di alam keabadian.